KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM ISLAM

KEDUDUKAN NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM ISLAM
Dalam syariat Islam, negara memiliki posisi penting dalam menetapkan hukum syariah. Posisi negara tidak hanya sebatas urusan administrasi, tetapi juga hadir dalam urusan peribadatan.
Di masa kenabian, masjid dibangun oleh negara. Maka wajar bila Rasulullah banyak menyelesaikan urusan kenegaraan di dalam masjid. Di sanalah Rasulullah bertemu lima kali sehari dengan rakyatnya.
Apabila masjid tidak lagi muat untuk pelaksanaan Salat Jumat, negaralah yang memiliki kewenangan untuk memberi izin penyelenggaraan Salat Jumat di tempat lain.
Saat memasuki bulan Ramadan, bila ada banyak versi laporan hasil rukyatul hilal, maka yang berwenang menetapkan 1 Ramadan adalah negara. Hal ini juga berlaku saat menetapkan 1 Syawal, 9-10 Zulhijah, dan seterusnya.
Di masa kenabian, zakat—yang merupakan rukun Islam—diserahkan kepada Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Kalaupun Rasulullah mengangkat amil zakat, status mereka adalah petugas resmi negara.
Dalam urusan pernikahan, bila seorang wanita tidak lagi memiliki ayah kandung atau wali dari keluarga laki-laki, maka negara hadir menjadi walinya. Rasulullah bersabda:
Sultan adalah wali bagi wanita yang tidak punya wali.
Negara juga mengurus berbagai kasus seperti pernikahan, perceraian, nafkah, hak asuh anak, dan waris. Demikian pula dalam masalah muamalah seperti jual beli, sewa, gadai, pinjaman, serta transaksi keuangan dan bisnis lainnya.
Dalam transaksi keuangan dan bisnis, negara berwenang mengeluarkan keputusan terkait keabsahan atau pembatalan kontrak, menetapkan kewajiban, hingga melarang praktik seperti riba dan transaksi terlarang lainnya.
Quran mewajibkan umat Islam untuk menegakkan hukum hudud, seperti memotong tangan pencuri, merajam atau mencambuk pezina, dan mencambuk peminum khamar, termasuk juga hukum qisas.
Namun, semua itu tidak boleh dijalankan secara perorangan atau individual, melainkan hanya boleh dijalankan oleh negara. Apabila hukum tersebut dijalankan oleh ustaz, kiai, atau ulama, keputusannya menjadi tidak sah.
Pengadilan syariah hanya sah bila diselenggarakan oleh negara. Sementara itu, jemaah pengajian, yayasan, pesantren, ormas, dan majelis ulama justru terlarang menyelenggarakan pengadilan.
Dalam syariat Islam, terdapat perintah jihad fi sabilillah. Namun, jihad tidak sah kecuali atas perintah dan kewenangan negara. Jihad tidak boleh dijalankan secara swasta, apalagi sekadar inisiatif individu. Hanya negara yang berhak mengumumkan perang, perdamaian, perjanjian, dan juga gencatan senjata.
Maka, ada begitu banyak cabang syariat Islam yang tidak bisa dijalankan kecuali harus dalam format negara.
Oleh karena itu, dalam syariat Islam, tidak ada ruang bagi umat Islam untuk menjadi musuh negara. Dengan kata lain, orang yang memusuhi negara sama saja dengan para bughat.
Baca di https://qbest.id/app68d5e0dcec5b3