STANDAR KAYA MENURUT RASULULLAH ?

STANDAR KAYA MENURUT RASULULLAH ?
Pernahkah Sahabat membuka media sosial dan tiba-tiba merasa hidup ini ada yang kurang? Melihat teman membeli mobil baru, influencer liburan ke luar negeri, atau tetangga merenovasi rumah, lalu hati terasa gelisah. Rasanya, apa yang kita miliki sekarang tidak ada apa-apanya.
Anehnya, perasaan ini tidak hanya milik mereka yang berkecukupan. Tanyakan pada orang-orang super kaya, yang garasinya penuh mobil mewah dan rekeningnya tak habis tujuh turunan. Apakah mereka selalu merasa cukup? Belum tentu. Banyak dari mereka yang justru merasakan hampa yang lebih besar, cemas akan apa yang belum mereka taklukkan, dan terus-menerus mengejar target baru. Seolah ada lubang di dalam hati yang tidak bisa ditambal oleh materi sebanyak apa pun.
Fenomena ini menunjukkan bahwa definisi "kaya" yang kita pahami selama ini mungkin keliru. Rasulullah, telah memberikan definisi yang sesungguhnya lebih dari 14 abad yang lalu. Dari Abu Hurairah, beliau bersabda:
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Definisi ini dipertegas lagi dalam sebuah dialog antara Rasulullah ? dan sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Nasihat ini adalah obat bagi penyakit zaman sekarang. "Fakirnya hati" adalah ketika kita terus-menerus merasa kurang, tidak peduli seberapa banyak yang sudah Allah berikan. Inilah yang membuat seseorang, jika diberi emas satu lembah, akan terus mencari lembah kedua dan ketiga. Kekayaan sejati adalah kondisi hati yang damai, yang ridha dan bersyukur atas setiap pemberian-Nya. Inilah yang disebut qana'ah.
Ibnu Baththol rahimahullah menjelaskan:
“Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Pada akhirnya, kaya bukanlah tentang angka di rekening, melainkan tentang ketenangan di dalam hati. Ia adalah kemampuan untuk melihat nikmat yang ada di genggaman, bukan terus-terusan cemas akan apa yang belum kita dapatkan. Itulah kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Baca di https://qbest.id/app68b84bbbd7724